Minggu, 04 Juli 2010

Cerpen: Bersama Aku Bisa, Asalkan Kaumau

Aku bukanlah anak yang pandai, sekolahku biasa-biasa saja, namun perhatian teman-temanku dan beberapa guru sering lebih kepadaku daripada kepada teman-teman lainnya. Mengapa? Kulihat Bu Guru matematika selalu memintaku maju ke depan untuk mengerjakan soal-soal yang ia buat sendiri. Begitu juga Pak Guru Bahasa Indonesia, memintaku untuk menuliskan pelajaran di papan tulis, tulisanku tidak terlalu baik. Jelek sangat sih tidak, prinsipnya dapat dibaca. Teman-temanku memakluminya, meskipun tidak banyak tahu sebab-sebab aku sering diperhatikan oleh para guru. Bahkan Kepala Sekolah kerap kali memanggilku ke ruang kerjanya. “De Ruh,” panggilan keseharianku di sekolah.
“Baik, Pak. Adakah yang harus kami kerjakan?” Jawabku setelah Kepala Sekolah memintaku datang ke ruang kerjanya.
“Coba ke sini, ini ada tugas. Tolong ketikan naskah ini, buat lay out yang bagus ya. Nanti kalau sudah, De Ruh sekalian istirahat.”
“Insya Allah, Pak.” Jawabanku tegas sambil menyunggingkan senyuman kepada Kepala Sekolah.
Ruangan Kepsek berdekatan dengan ruang kelasku dan ruang guru, sehingga lalu lalang guru, baik guru kelas maupun guru lainnya selalu melewati ruang kelasku. Guru-guru yang mengajar di kelas V, kelasku sering tidak menutup pintu ketika mengajar. Padahal di kelas lainnya dengan guru yang sama pintu masuk ke ruang kelas selalu ditutup ketika mereka mengajar. Entah apa sebabnya, aku pun tidak tahu persis.
Apakah hal tersebut menjadi keistimewaan tersendiri kelas V yang aku duduk di dalamnya? Aku tidak mengerti mengapa demikian. Kebetulan aku duduk di bangku depan, meskipun setiap hari murid-murid selalu bergilir setiap harinya ke belakang, kemudian sepekan sekali berputar ke arah samping mengikuti jarum jam. Setiap giliran pada bangku kiri depan, hampir semua murid tidak mau mengisinya, maka akulah yang selalu mendudukinya. Bangku tersebut persis di depan meja guru yang letaknya di samping kiri, dekat jalan. Aku heran teman-teman selalu menghindari duduk di bangku tersebut. Apakah bangku itu angker? Ada jinnya? Atau ada apanya? Ternyata selidik punya selidik, bangku yang persis di depan meja guru gampang sekali dan sering menjadi perhatian setiap guru yang mengajar di kelasku. Apabila guru akan memeriksa ulangan atau tugas sekolah, maka guru-guru kami selalu mendahulukan bangku yang di depannya. Paling tidak, dengan kerdipan mata, akan tampak tulisan murid yang berada di depannya tersebut, sehingga para murid tidak mau pekerjaannya menjadi tujuan sorot mata setiap guru yang mengajar di kelas kami.
Rupanya setiap guru selalu memperhatikan gerak langkah murid-murid, terutama yang duduk di bangku itu. Para guru pun pernah bertanya kepadaku, “mengapa murid lain duduknya berpindah, tapi De Ruh tidak berpindah bangku?” Sahut Bu Nina, guru kesenian kami yang memiliki suara merdu dan pandai main alat-alat musik. “Habisnya tidak ada yang mau duduk di tempat ini Bu.” Aku memberanikan diri menjawab pertanyaan, meski jawaban tersebut belum tentu benar, namun berdasarkan kenyataan, setiap pergiliran duduk di bangku dekat meja guru selalu meminta aku yang duduk di situ.
Bu Nina yang menjadi guru kesenian kami, memiliki kesabaran yang sangat tinggi, seperti postur tubuhnya yang agak tinggi dibandingkan guru-guru lainnya, sekalipun dengan beberapa guru lelaki, dia tampat lebih tinggi sedikit. Paling tidak, memiliki tinggi yang sama dengan Kepala Sekolah yang mengajar matematika.
Bu Nina dengan penampilannya yang anggun, penuh wibawa, dan tegas. Apalagi memiliki kepandaian mengoyang-goyangkan jari-jemari tangan kanannya pada saat memainkan gitar. Demikian pula gerakan sepuluh jarinya ketika menekan organ maupun piano kesukaannya, ditambah dengan suara yang merdu, enak didengar. Bu guru yang satu ini banyak kepandaiannya dalam memainkan alat musik. Dulu katanya semua alat musik ia kuasai, bahkan ketika main drum, seperti alat yang penuh pukulan keras, Bu Nina pandai, karena pada saat sekolah, dia punya group band. Sosok Bu guru ini menjadi idola bagi anak-anak di sekolahku. “Enaknya punya guru seperti Bu Nina, setiap ada pensi (pentas dan seni) selalu mengiringi lagu-lagu di sekolahnya.”
Tidak terasa, obrolan kita tentang cerita di sekolahku sudah agak panjang. Kemarin kepala sekolah menjawab berbagai pertanyaan tentang diriku, mengapa aku begini-begitu dan sebagainya, termasuk kepala sekolah yang sering memanggil diriku. Demikian pula beberapa guru yang sering meminta aku mencatatkan pelajarannya di papan tulis. Dia (kepala sekolah) katakan: “De Ruh, adalah anak yang jarang bicara dan menurut catatan guru-guru, ia rajin mengerjakan PR tanpa dibantu oleh kedua orang tua dan kedua kakaknya. Padahal kakak dan orang tuanya bisa saja menjawab soal-soal di dalam Pekerjaan Rumah (PR), tapi tidak dilakukannya. Meraka hanya membimbing dan mengawasi. Kemudian, De Ruh, sudah bisa mengetik di komputer, sehingga Bapak, sering meminta bantuannya,” ujar kepala sekolah membuka rahasia, mengapa aku menjadi perhatian guru-guru di sekolahku. Aku pun mengakhiri ceriteranya dengan semboyan, “bersama aku bisa, asalkan kaumau.” Mau bekerja sama.
(rumaha’u baena ramadina)

banner

kesehatan

Create your own banner at mybannermaker.com!

Anda berminat buat Buku Tamu seperti ini?
Klik di sini